Proyek Seal: Bom Tsunami Rahasia dalam Bayang-Bayang Perang Dunia II

 



Saya masih mengumpulkan berbagai materi terkait militerisasi alam (saya tidak akan menggunakan tanda kutip untuk istilah ini, meskipun hal itu cukup menakutkan—tetapi kita semua tahu bahwa Raymond Williams pernah menyebut ‘alam’ sebagai salah satu kata paling kompleks dalam bahasa Inggris). Karena itu, saya tertarik membaca tentang proyek rahasia antara AS dan Selandia Baru yang bertujuan mengembangkan ‘bom tsunami’ untuk digunakan melawan Jepang selama Perang Dunia II. Laporan resminya menyebut proyek ini sebagai ‘penelitian tentang kemungkinan penggunaan gelombang yang dihasilkan oleh ledakan sebagai senjata ofensif’.

Dengan nama sandi Project Seal, Angkatan Darat Selandia Baru, bekerja sama dengan Angkatan Udara, Angkatan Laut, serta Angkatan Laut AS, melakukan serangkaian uji coba ledakan bawah laut yang memicu gelombang pasang di sepanjang pantai Kaledonia Baru dan Semenanjung Whangaparaoa dekat Auckland antara Juni 1944 hingga Januari 1945. Sekitar 3.700 bom, sebagian besar berupa TNT, diledakkan dalam eksperimen ini. Hasil awal menunjukkan bahwa rangkaian 10 ledakan besar (dengan total dua ribu ton bahan peledak, berjarak sekitar 8 km dari pantai) dapat menghasilkan tsunami setinggi 9–12 meter, yang cukup untuk menenggelamkan sebuah kota kecil di pesisir.

Proyek ini dipimpin oleh Profesor Thomas Leech, Dekan Teknik di Universitas Auckland, yang ditugaskan khusus ke militer untuk mengembangkan bom ini. Laporan akhirnya dirilis pada tahun 1950, dan surat kabar New Zealand Herald melaporkan bahwa penelitian ini dianggap cukup penting hingga Leech direncanakan dikirim untuk mengamati uji coba nuklir AS di Bikini Atoll pada tahun 1946 guna membandingkan dampaknya. Beberapa pihak bahkan melihat proyek ini sebagai pesaing potensial bagi bom atom.

Laporan ini dideklasifikasi pada tahun 1999 dan diberitakan di Selandia Baru. Namun, teori konspirasi mulai berkembang setelah tsunami di Samudra Hindia tahun 2004 dan tsunami Jepang akibat gempa bumi tahun 2011. Beberapa orang menganggap bahwa dua tsunami besar yang terjadi dalam rentang waktu kurang dari tujuh tahun adalah sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah. Berita tentang proyek ini kembali mencuat di media Inggris dan AS pada awal tahun itu.

Eksperimen Berlanjut

Pada 1960-an, AS masih melanjutkan eksperimen terkait gelombang yang dihasilkan oleh ledakan. Kantor Penelitian Angkatan Laut (Office of Naval Research), yang saat itu juga mendanai berbagai penelitian dalam bidang ilmu spasial, bekerja sama dengan Scripps Institution of Oceanography untuk menyusun tinjauan ilmiah mengenai prediksi gelombang yang dihasilkan oleh ledakan. Kajian ini mencakup laporan eksperimen dari uji coba ledakan di Mono Lake, pengamatan lapangan di Hawaii, serta pemodelan matematis yang kompleks.

Menariknya, laporan ini menggunakan bahasa yang lebih defensif ketimbang ofensif, terutama dalam pembahasan aspek operasional:

“Metode prediksi harus mempertimbangkan setiap area pesisir secara independen dan memperhitungkan berbagai kemungkinan skenario sebelum menyimpulkan tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap serangan gelombang akibat ledakan besar. Selain efek langsung terhadap pantai, ledakan besar juga dapat menghasilkan gelombang raksasa di perairan dalam, yang bisa pecah di landas kontinen beberapa kilometer dari pantai. Gelombang semacam ini dapat mengganggu navigasi laut, baik secara langsung maupun melalui efek kumulatif seperti resonansi di pelabuhan serta pengendapan atau erosi sedimen di area yang biasanya terlindungi dari badai biasa.”

Namun, skenario ini bisa dibalik: jika pesisir AS rentan terhadap dampak ini, maka pesisir musuh juga demikian. Berbeda dengan eksperimen sebelumnya, ancaman utama kali ini bukan lagi banjir besar di wilayah pesisir, tetapi lebih kepada gangguan operasional terhadap armada laut di sekitar lokasi ledakan:

“Masalah pertama yang diteliti secara sistematis adalah kerusakan pesisir akibat gelombang besar yang dihasilkan oleh ledakan, karena secara analogi dengan fenomena tsunami akibat gempa bumi, awalnya diasumsikan bahwa ledakan nuklir besar di laut bisa menyebabkan kerusakan pesisir yang signifikan. Namun, penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa ledakan besar tidak terlalu efisien dalam menghasilkan gelombang yang dapat mencapai pantai. Sebagian besar energi gelombang justru terdispersi saat pecah di landas kontinen sebelum sampai ke daratan. Oleh karena itu, perhatian beralih ke dampak lain, seperti gangguan navigasi kapal, osilasi pelabuhan akibat gelombang kumulatif, serta perubahan pola erosi dan sedimentasi di jalur masuk pelabuhan.”

Mungkin inilah alasan mengapa Hawaii menjadi lokasi penelitian yang menarik. Jika demikian, maka Jepang kembali masuk dalam skenario ini, meskipun dalam bentuk bayangan, melalui ancaman serangan lain seperti Pearl Harbor…


Sumber :

Project Seal


Kategori: Sejarah, Perang Dunia II
Tag: Selandia Baru, Pearl Harbor, Project Seal, Bom Tsunami

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bom Tsunami Rahasia

Menguak Bom Tsunami: Proyek Rahasia Perang Selandia Baru